Skizofrenia
adalah gangguan psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya
tidak dapat menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk
(Kaplan dan Sadock, 1997).
Gejalanya
Primer yang
meliputi perubahan proses pikir, gangguan emosi, kemauan, dan otisme.
Sedangkan gejala sekunder meliputi waham, halusinasi, gejala katatonik.
Sekunder
merupakan manifestasi untuk menyesuaikan diri terhadap gangguan primer.
Skizofrenia dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu simplex, hebefrenik,
katatonik, paranoid, tak terinci, residual (Maslim, 2000). Dari beberapa
jenis skizofrenia diatas, terdapat skizofrenia paranoid. Jenis ini
ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau
halusinasi, dan tidak ada perilaku pada tipe terdisorganisasi atau
katatonik. Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai terutama
oleh adanya waham kebesaran atau waham kejar, jalannya penyakit agak
konstan (Kaplan dan Sadock, 1998). Pikiran melayang (Flight of ideas)
lebih sering terdapat pada mania, pada skizofrenia lebih sering
inkoherensi (Maramis, 1998). Kriteria waktunya berdasarkan pada teori
Townsend (1998), yang mengatakan kondisi klien jiwa sulit diramalkan,
karena setiap saat dapat berubah.
Waham
menurut Maramis (1998), Keliat (1998) dan Ramdi (2000) menyatakan bahwa
itu merupakan suatu keyakinan tentang isi pikiran yang tidak sesuai
dengan kenyataan atau tidak cocok dengan intelegensia dan latar belakang
kebudayaannya, keyakinan tersebut dipertahankan secara kokoh dan tidak
dapat diubah-ubah. Mayer-Gross dalam Maramis (1998) membagi waham dalam 2
kelompok, yaitu primer dan sekunder. Waham primer timbul secara tidak
logis, tanpa penyebab dari luar. Sedangkan waham sekunder biasanya logis
kedengarannya, dapat diikuti dan merupakan cara untuk menerangkan
gejala-gejala skizofrenia lain, waham dinamakan menurut isinya, salah
satunya adalah waham kebesaran
Waham
kebesaran adalah waham peningkatan kemampuan, kekuatan, pengetahuan,
identitas, atau hubungan khusus dengan dewa atau orang terkenal (Kaplan
dan Sadock, 1997). Pendapat ini juga didukung oleh Kusuma (1997) yang
menyatakan bahwa derajat waham kebesaran dapat terentang pembesar-
besaran yang ringan sampai karakteristik sesungguhnya dari waham
kebesaran psikotik. Isi waham umpamanya pasien telah melakukan penemuan
yang penting atau memiliki bakat yang tidak diketahui atau kesehatan
yang sangat baik.
Etiologi
a. Predeposisi
1) Biologi
Skizofrenia paranoid
disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon/ oleh
perubahan- perubahan post mortem/ merupakan artefak pada waktu membuat
sediaan. Gangguan endokrin juga berpengaruh, pada teori ini dihubungkan
dengan timbulnya skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau
puerperium dan waktu klimaterium. Begitu juga dengan gangguan
metabolisme, hal ini dikarenakan pada orang yang mengalami skizofrenia
tampak pucat dan tidak sehat, ujung ekstremitas sianosis, nafsu makan
berkurang dan berat badan menurun. Teori ini didukung oleh Adolf Meyer
yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang inferior/ penyakit badaniah
dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia paranoid (Maramis, 1998).
Menurut
Schebel (1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa skizofrenia
merupakan kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel
piramidal dalam otak, dimana sel-sel otak tersusun rapi pada orang
normal.
Gangguan
neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis sering
berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan neurologis
yang tidak disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung memiliki
waham yang kompleks. Sedangkan waham yang disertai dengan gangguan
kecerdasan sering kali berupa waham sederhana (kaplan dan Sadock, 1997).
2) Psikologis
Menurut
Carpenito (1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan dasarnya
dengan mencurigai. Pada klien dengan waham kebesaran terdapat perasaan
yang tidak adekuat serta tidak berharga. Pertama kali mengingkari
perasaannya sendiri, kemudian memproyeksikan perasaannya kepada
lingkungan dan akhirnya harus menjelaskan kepada orang lain. Apa yang
seseorang pikirkan tentang suatu kejadian mempengaruhi perasaan dan
perilakunya. Beberapa perubahan dalam berpikir, perasaan atau perilaku
akan mengakibatkan perubahan yang lain. Dampak dari perubahan itu salah
satunya adalah halusinasi,dapat muncul dalam pikiran seseorang karena
secara nyata mendengar, melihat, merasa, atau mengecap fenomena itu,
sesuai dengan waktu, kepercayaan yang irrasional menghasilkan
ketidakpuasan yang ironis, menjadi karakter yang “Wajib” dan “Harus.
3) Genetik
Faktor
keturunan juga menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini dibuktikan
dengan penelitian pada keluarga-keluarga yang menderita skizofrenia dan
terutama anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri
sebesar 0,9 – 1,8%, saudara kandung 7 – 15%, anak dengan salah satu
orang tua yang mengalami skizofrenia 7 – 16%, bila kedua orang tua
mengalami skizofrenia 40 – 68%, kembar dua telur (heterozygot) 2-15%,
kembar satu telur (monozygot) 61-86% (Maramis, 1998).
b. Presipitasi
Faktor ini dapat bersumber dari internal maupun eksternal.
Stresor sosiokultural
Stres yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya (Stuart, 1998)
Stresor psikologis
Intensitas
kecemasan yang tinggi, perasaan bersalah dan berdosa, penghukuman diri,
rasa tidak mampu, fantasi yang tak terkendali, serta dambaan-dambaan
atau harapan yang tidak kunjung sampai, merupakan sumber dari waham.
Waham dapat berkembang jika terjadi nafsu kemurkaan yang hebat, hinaan
dan sakit hati yang mendalam (Kartono, 1981).
Proses terjadinya waham
Waham adalah
anggapan tentang orang yang hypersensitif, dan mekanisme ego spesifik,
reaksi formasi dan penyangkalan. Klien dengan waham, menggunakan
mekanisme pertahanan reaksi formasi, penyangkalan dan proyeksi. Pada
reaksi formasi, digunakan sebagai pertahanan melawan agresi, kebutuhan,
ketergantungan dan perasaan cinta. Kebutuhan akan ketergantungan
ditransformasikan menjadi kemandirian yang kokoh. Penyangkalan,
digunakan untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang menyakitkan.
Proyeksi digunakan untuk melindungi diri dari mengenal impuls yang tidak
dapat diterima didalam dirinya sendiri. Hypersensitifitas dan perasaan
inferioritas, telah dihipotesiskan menyebabkan reaksi formasi dan
proyeksi, waham kebesaran dan superioritas. Waham juga dapat muncul dari
hasil pengembangan pikiran rahasia yang menggunakan fantasi sebagai
cara untuk meningkatkan harga diri mereka yang terluka. Waham kebesaran
merupakan regresi perasaan maha kuasa dari anak-anak, dimana perasaan
akan kekuatan yang tidak dapat disangkal dan dihilangkan (Kaplan dan
Sadock, 1997).
Cameron,
dalam Kaplan dan Sadock, (1997) menggambarkan 7 situasi yang
memungkinkan perkembangan waham, yaitu : peningkatan harapan, untuk
mendapat terapi sadistik, situasi yang meningkatkan ketidakpercayaan dan
kecurigaan, isolasi sosial, situasi yang meningkatkan kecemburuan,
situasi yang memungkinkan menurunnya harga diri (harga diri rendah),
situasi yang menyebabkan seseorang melihat kecacatan dirinya pada orang
lain, situasi yang meningkatkan kemungkinan untuk perenungan tentang
arti dan motivasi terhadap sesuatu.
Gejala- gejala waham
Jenis
skizofrenia paranoid mempunyai gejala yang khas yaitu waham primer,
disertai dengan waham-waham sekunder dan halusinasi (Maramis, 1998).
Menurut Kaplan dan Sadock (1997), kondisi klien yang mengalami waham
adalah:
a. Status mental
1) Pada pemeriksaan status mental, menunjukan hasil yang sangat normal, kecuali bila ada sistem waham abnormal yang jelas.
2) Mood klien konsisten dengan isi wahamnya.
3) Pada waham curiga, didapatkan perilaku pencuriga.
4) Pada
waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas
diri, mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.
5) Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas depresi ringan.
6) Klien
dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang menonjol/ menetap, kecuali
pada klien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa klien kemungkinan
ditemukan halusinasi dengar.
b. Sensori dan kognisi
1) Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki waham spesifik tentang waktu, tempat dan situasi.
2) Daya ingat dan proses kognitif klien adalah intak (utuh).
3) Klien waham hampir selalu memiliki insight (daya titik diri) yang jelek.
4) Klien
dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya.
Keputusan terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi klien adalah
dengan menilai perilaku masa lalu, masa sekarang dan yang direncanakan.
Tipe-tipe waham
a. Menurut kaplan dan sadock (1997), tipe-tipe waham antara lain:
1) Tipe
Eritomatik: klien dicintai mati-matian oleh orang lain, biasanya orang
yang sangat terkenal, seperti artis, pejabat, atau atasanya. Klien
biasanya hidup terisolasi, menarik diri, hidup sendirian dan bekerja
dalam pekerjaan yang sederhana.
2) Tipe
kebesaran (magalomania):yaitu keyakinan bahwa seseorang memiliki bakat,
kemampuan, wawasan yang luar biasa, tetapi tidak dapat diketahui.
3) Waham
cemburu, yaitu misalnya cemburu terhadap pasanganya. Tipe ini jarang
ditemukan (0,2%) dari pasien psikiatrik. Onset sering mendadak, dan
hilang setelah perpisahan/ kematian pasangan. Tipe ini menyebapkan
penyiksaan hebat dan fisik yang bermakna terhadap pasangan, dan
kemungkinan dapat membunuh pasangan, oleh karena delusinya.
4) Waham
kejar : keyakinan merasa dirinya dikejar-kejar, diikuti oleh orang
lain. Tipe ini paling sering ditemukan pada gangguan jiwa. Dapat
berbentuk sederhana, ataupun terperinci, dan biasanya berupa tema yang
berhubungan difitnah secara kejam, diusik, dihalang-halangi, diracuni,
atau dihalangi dalam mengejar tujuan jangka panjang.
5) Waham
tipe somatik atau psikosis hipokondrial monosimptomatik. Perbedaan
dengan hipokondrial adalah pada derajat keyakinan yang dimiliki klien.
Menetapnya waham somatik yang tidak kacau tanpa adanya gejala psikotik
lainya menyatakan gangguan delosional/ waham tipe somatik.
Tahap-tahap halusinasi
Menurut Townsend (1998) tahap dari halusinasi antara lain :
Comforting (secara umum halusinasi bersifat menyenangkan)
Karakteristik :
orang yang berhalusinasi mengalami keadaan emosi seperti ansietas,
kesepian, merasa bersalah, dan takut serta mencoba untuk memusatkan pada
penenangan pikiran untuk mengurangi ansietas; individu mengetahui bahwa
pikiran yang dialaminya tersebut dapat dikendalikan jika ansietasnya
dapat diatasi (nonpsikotik).
Perilaku pasien
yang teramati : menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan
bibirnya tanpa menimbulkan suara,gerakan mata yang cepat, respon verbal
yang lamban, diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan.
Condemning (secara umum halusinasi menjijikan)
Karakteristik :
pengalaman sensori bersifat menjijikan dan menakutkan, orang yang
berhalusinasi mulai merasa kehilangan kendali dan berusaha untuk
menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan, individu mungkin
merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang
lain (nonpsikotik).
Perilaku pasien
yang teramati : peningkatan saraf otonom yang menunjukan ansietas
misalnya peningkatan nadi, pernapasan dan tekanan darah, penyempitan
kemampuan konsentrasi, dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin
kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realitas.
Controling (pengalaman sensori menjadi penguasa)
Karakteristik :
orang yang berhalusinasi menyerah untuk melawan pengalaman halusinasinya
dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya, isi halusinasi dapat
berupa permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman
sensori tersebut berakhir (psikotik).
Perilaku pasien
yang teramati : lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh
halusinasinya daripada menolaknya, kesulitan dalam berhubungan dengan
orang lain,rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala
fisik dan ansietas berat seperti berkeringat, tremor, ketidakmampuan
mengikuti petunjuk.
Conquering (secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling terkait dengan jumlah pasien yang masuk adalah delusi).
Karakteristik :
pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti
perintah, halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari
apabila tidak ada intervensi terapeutik (psikotik).
Perilaku pasien
yang teramati : perilaku menyerang atau teror seperti panik, sangat
potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain, kegiatan fisik
merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi, menarik diri, atau
kataton, tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
7. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Tatalaksana
pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada penatalaksanaan skizofrenia
secara umum menurut Townsend (1998), Kaplan dan Sadock (1998) antara
lain :
1) Anti Psikotik
Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :
a) Chlorpromazine
Untuk mengatasi
psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan mengurangi gejala emesis. Untuk
gangguan jiwa, dosis awal : 3×25 mg, kemudian dapat ditingkatkan supaya
optimal, dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.
b) Trifluoperazine
Untuk terapi
gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik menarik diri. Dosis awal :
3×1 mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50 mg/hari.
c) Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis,dan mania. Dosis awal : 3×0,5 mg sampai 3 mg.
Obat antipsikotik
merupakan obat terpilih yang mengatasi gangguan waham. Pada kondisi
gawat darurat, klien yang teragitasi parah, harus diberikan obat
antipsikotik secara intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon
dengan obat pada dosis yang cukup dalam waktu 6 minggu, anti psikotik
dari kelas lain harus diberikan. Penyebab kegagalan pengobatan yang
paling sering adalah ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi ini harus
diperhitungkan oleh dokter dan perawat. Sedangkan terapi yang berhasil
dapat ditandai adanya suatu penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya
waham pada klien.
2) Anti parkinson
Triheksipenydil (Artane)
Untuk semua
bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi ekstrapiramidal
akibat obat. Dosis yang digunakan : 1-15 mg/hari
Difehidamin
Dosis yang diberikan : 10- 400 mg/hari
3) Anti Depresan
Amitriptylin
Untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan somatik. Dosis : 75-300 mg/hari.
Imipramin
Untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi neurotik. Dosis awal : 25 mg/hari, dosis pemeliharaan : 50-75 mg/hari.
4) Anti Ansietas
Anti ansietas
digunakan untuk mengotrol ansietas, kelainan somatroform, kelainan
disosiatif, kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara
gejala-gejala insomnia dan ansietas. Obat- obat yang termasuk anti
ansietas antara lain:
Fenobarbital : 16-320 mg/hari
Meprobamat : 200-2400 mg/hari
Klordiazepoksida : 15-100 mg/hari
b. Psikoterapi
Elemen penting
dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling percaya. Terapi
individu lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapis tidak boleh
mendukung ataupun menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus
membicarakan tentang wahamnya. Terapis harus tepat waktu, jujur dan
membuat perjanjian seteratur mungkin. Tujuan yang dikembangkan adalah
hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan yang
berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien, karena
disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Terapis perlu
menyatakan pada klien bahwa keasyikan dengan wahamnya akan menegangkan
diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan konstruktif. Bila klien
mulai ragu-ragu dengan wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes
realitas.
Sehingga terapis
perlu bersikap empati terhadap pengalaman internal klien, dan harus
mampu menampung semua ungkapan perasaan klien, misalnya dengan berkata :
“Anda pasti merasa sangat lelah, mengingat apa yang anda lalui, “tanpa
menyetujui setiap mis persepsi wahamnya, sehingga menghilangnya
ketegangan klien. Dalam hal ini tujuannya adalah membantu klien memiliki
keraguan terhadap persepsinya. Saat klien menjadi kurang kaku, perasaan
kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat timbul.
Pada saat klien membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi, suatu
hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas terpeutik
dapat dilakukan.
c. Terapi Keluarga
Pemberian terapi
perlu menemui atau mendapatkan keluarga klien, sebagai sekutu dalam
proses pengobatan. Keluarga akan memperoleh manfaat dalam membantu ahli
terapi dan membantu perawatan klien.
8. Diagnosa Medis
a. Penentuannya mengikuti diagnosa multiaksila yang terdiri dari 5 aksis
Aksis I : gangguan klinis
Aksis II : gangguan kepribadian
Aksis III : kondisi medik umum
Aksis IV : Masalah Psikososial dan lingkungan
Aksis V : penilaian peran dan fungsi 1 tahun terakhir
b. Tujuan dari diagnosa multiaksila
Mencakup
informasi yang komprehensif (gangguan jiwa, kondisi medik umum, masalah
psikososial, dan lingkungan, taraf fungsi secara global), sehingga dapat
membantu dalam
a) Perencanaan terapi
b) Meramalkan “Outcame” atau prognosis
Format yang mudah dan sistematik, sehingga dapat membantu dalam :
Menata dan mengkomunikasikan informasi klinis
Menangkap kompleksitas situasi klinis
Menggambarkan heterogenitas individual dengan diagnosa klinis yang sama.
Memacu penggunaan “Model Bio-Psiko-Sosial”dalam klinis, pendidikan dan penelitian (PPDGJ-III, 2002)